- Back to Home »
- Budaya Indonesia »
- Bahasa Indonesia: Membangun Ciri Khas dengan Istilah Baru
Posted by : Miftahur Rohman
Saturday, March 8, 2014
Menonton
berita ekonomi dan diskusi politik adalah hal berat. Saya sendiri
mengakuinya. Bukan hanya karena pokok masalah yang berat; pemakaian
istilah-istilah asing alias bahasa Indonesia serapan kerap kali
mempersulit masyarakat untuk mengerti apa sebenarnya topik yang
dibicarakan, atau maksud apa yang hendak disampaikan pembicara. Maklum,
pemakaian bahasa Indonesia kelas berat seperti itu memang sudah mendarah
daging dalam diri kaum cendekiawan dan birokrat. Kalau tidak menguasai
istilah-istilah berat semisal bail-out, representatif, logistik, realistis, destrukturisasi, dan lain-lain, bukan kalangan cerdas namanya.
Padahal,
seperti yang kita tahu, meskipun terkenal dalam sejarah sebagai
persilangan jalur perdagangan dunia, Indonesia adalah wilayah yang sejak
dulu telah dihuni oleh masyarakat dengan berbagai macam suku dan etnis.
Tidak heran, ada ratusan jenis bahasa dan logat yang berkembang di
negeri ini. Namun, tampaknya kekayaan budaya tersebut tidak berdampak
secara mencolok terhadap pembentukan istilah-istilah
bahasa Indonesia. Malahan, bahasa Indonesia terkesan lebih dipengaruhi
bahasa luar negeri daripada bahasa daerah.
Sebenarnya,
tren pemakaian bahasa serapan yang “mempersulit diri sendiri” ini bukan
salah kaum cendekiawan maupun masyarakat. Keadaan dunia pendidikan
Indonesia yang menuntut masyarakat berpikir cerdas, memaksa mereka harus
menguasai istilah-istilah berat yang diserap dari bahasa luar. Memang,
semua ini dilakukan untuk tujuan yang baik: meningkatkan kualitas setiap
individu sekaligus mencerdaskan pemikiran rakyat. Namun, pola
pendidikan dengan memakai bahasa serapan secara berlebihan ini kurang
tepat.
Pertama,
memakai bahasa serapan yang “sulit” tidak menjamin kemajuan hidup
masyarakat, bahkan justru akan menimbulkan apa yang disebut dengan
kecerdasan semu. Sekilas, masyarakat tampak cerdas saat berbicara.
Namun, itu tidak menjamin mereka akan menjalani setiap aspek kehidupan
mereka dengan cara yang cerdas pula. Selain itu, masih tebalnya dinding
pemisah antara kalangan atas dan bawah di Indonesia terlihat jelas pada
pemakaian bahasa yang berbeda. Ini sangat berbahaya dan membuka lebar
terjadinya kesalahpahaman (bahasa kelas beratnya: miskomunikasi), bahkan
pembodohan publik.
Dampak
paling parah yang terjadi adalah, tentu saja, kehilangan jati diri.
Bahasa Indonesia, bahasa yang disebut-sebut nenek moyang kita sebagai
ciri khas bangsa, seharusnya lebih didominasi oleh bahasa daerah
ketimbang “tercemar” oleh pengaruh bahasa Inggris, bahasa Arab dan
sebagainya. Memang tidak dapat dipungkiri, telah banyak istilah asing
yang sudah meresap amat dalam dalam perkosakataan bahasa Indonesia,
seperti sekolah, presiden, gubernur, kamera dan lain sebagainya. Tetapi untuk selanjutnya, kapasitas bahasa serapan harus sudah mulai diatur.
Sebagai
generasi baru yang hidup di abad modern, ada baiknya kita ikut ambil
bagian dalam perkembangan bahasa Indonesia – utamanya, menjaga keaslian
bahasa pemersatu bangsa ini. Tidak harus dengan gila-gilaan melarang
diri sendiri untuk memakai istilah sosialisasi, infrastruktur, kondusif
dan sebagainya. Tidak harus pula takut dengan pengaruh yang ditimbulkan
bahasa luar terhadap bahasa kita. Perlahan tapi pasti, hendaknya kita
memulai pembangunan bahasa negeri kita dengan me-nenek-moyang-kan
istilah bahasa daerah. Misalnya saja, lebih memilih kata prihatin daripada simpati, lebih memilih kata ponsel daripada handphone, lebih memilih kata daftar kerja daripada deskjob, membiasakan istilah daerah seperti legowo, dan seterusnya.
Menanamkan
istilah kedaerahan dalam bahasa Indonesia tidak berarti kita tertutup
dari pengaruh bahasa luar. Tetapi bukankah kita ingin membangun bahasa
yang khas? Dengan modal kekayaan bahasa di tanah air, bukankah kita bisa
menciptakan bahasa yang lebih asli atau orisinal daripada bahasa
Mandarin, bahasa Latin, bahasa Rusia atau bahasa Arab? Kita pasti bisa.
Dan siapa tahu, bahasa Indonesia kita malah akan mendunia.
Sumber : http://bahasa.kompasiana.com